Nova Yarnis

Saya guru Bahasa Indonesia di SMP 29 Sijunjung... Sekarang saya berumur 36 th memiliki 2 orang anak yang besar laki2 dan yg kecil perempuan. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tak Ingin Mengenalnya

Tak Ingin Mengenalnya

Hari ini akhir dari kegiatan pembelajaran di sekolah. Menyenangkan karena awal dari liburan. Menjauhkan diri dari kesibukan. Memberikan kesegaran pada otak-otak yang berdansa mendidik anak bangsa agar menjadi manusia yang mulia.

Kegiatan penerimaan rapor belum juga dilaksanakan karena menunggu administrasi yang belum selesai. Waktu jedah aku gunakan balik ke rumah menjemput sesuatu yang terlupa.

“mau kemana nich kak?” tanyaku pada pemilik rumah.

“mau ke Jakarta”

“ikut yuk Ki!” Ajakan basa-basi (anggapanku)

“wuiiiiih g mungkin kak, hari ini mau ada rapat akhir sekolah”

“nyantai aja, kan bisa minti izin” jawabnya tanpa beban

“makasih kak, kapan-kapan aja”

Namun ajakan si kakak sepertinya tak main-main

“ayo lah!”

Aku yang mudah terpengaruh dan keinginan untuk liburan ke Jakarta sepertinya menggebu juga tapi tak pernah ada kesempatan.

“ok lah kalau begitu kak aku ikut”.

Persiapan ke Jakarta tak begitu matang sich, Cuma keinginan aja yang sedikit matang. Ke Jakarta kami berangkat dengan BUS. Tanpa takut ku tinggalkan kerja di kantor.

Izin ke orang tua pun hanya lewat telp. Itu pun sudah di perjalanan. Capek banget duduk di mobil. Mana penumpangnya rame banget. Sesak rasanya napas. Di suatu tempat, naik banyak sekali orang bahkan mereka rela berdiri. Aduuuh kenapa sesak sekali, pikirku.

Berangsur-angsur penumpang turun dan aku duduk di sebelah pria tinggi nggak ganteng. Cuma enak aja ngomong. Tanya-tanya ternyata ia asli orang Jogja. Pertemuan kami hanya sesaat di mobil. Sempat telpon-telponan namun sekedarnya.

Di Jakarta kami nginap di rumah saudaranya si kakak. Perjalanan panjang yng melelahkan membuat aku males bangkit. Tidur, makan dan tidur lagi. Tiga hari kegiatan rutin di Jakarta masih seperti itu.

Di sana saya bertemu dengan seorang cowok yang tampan, putih, dan ramah. Ia adalah Roni. Sejak bertemu dengannya kegiatan yang membosankan sudah mulai bergairah. Rugi banget rasanya menyia-nyiakan kesempatan, Apa lagi tujuan ke Jakartanya liburan.

******

Hari ke empat di Jakarta aku diajak jalan-jalan ke puncak. Enjoy aja perjalanan karena yang bawa mobil Roni. Roni adalah ponakan si Kakak. Matanya bagus banget saat pandanganku b,ertemu di tatapan kaca dengannya. Senyum simpul ku terima darinya. Ada sambutan nich sepertinya. Mau rasanya berlama-lama diperjalanan sambil menatap indah matanya.

“aduuuh…semua orang berteriak” karna ngerem mendadak. Ada mobil di depan yang berhenti tiba-tiba.

“hati-hati Ron, pandangannya ke depan aja” celetuk si kakak

“iya Mam, nyantai aja, kosentrasi kok”

Tak enak hati ini, jangan-jangan si kakak tau kalau aku sedang ngelirik si sopir. Tapi, aku pura-pura cuek.

“Alhamdulillah akhirnya nyampe, silahkan turun Mam”

“sudah sampai ya, kok cepat sekali sepertinya lama di perjalan lebih seru” jawab si Kakak.

Aku ngerasa ada sesuatu yang diketahui si kakak.

“berat ya? Sapa Roni

“oh nggak”

“sini dibantuin!”

“nggak usah bisa kok”

Kami tak pernah tegur sapa, Cuma lirikan mata yang berbicara. Senyum yang menyapa namun serasa sudah dekat.

Malam itu dingin sekali, mata ku tak mau tidur. Mungkin efek 3 hari di Jakarta kemaren. Lagi chat bareng teman-teman. Ngabarin kalau aku lagi di puncak. Maklum liburan jauh-jauh jarang banget. Aku duduk di depan rumah.

“kok nggak tidur?”Suara itu menyapa tiba-tiba

“eh bang, dingin banget g bisa tidur. Menikmati malam, sepertinya bulan disini sedang menungguku” (agak lebai dikit)

“wiiih puitis juga ya?”

“ nggak juga” (jawab ku tersipu malu)

“namanya siapa ya, Sudah sering berpapasan Cuma kenal dengan senyumnya. Hehehhehehe”

“bisa aja”

“aku Kinan”

Aku tak balik nanya karena aku sudah tau namanya.

Kinan temannya si Mam?”

“ia satu kantor”

“oooo, tujuannnya kemana?”

“nggak da Cuma si Kakak ngajak bareng liburan aja, tanpa planning langsung berangkat”

“seru juga ya? Liburan jauh mendadak gitu”

“ya g tau juga, awalnya berat tapi si kakak ngajaknya kebangetan makanya berangkat”

Canda tawa menemani malam kami. Senang banget rasanya, hingga tak sadar kalau sudah pukul 1 dini hari.

“ Bang kok nggak tidur?” suara itu sedikit bernada tinggi

“iya belum mau tidur, ada cerita bagus dengan temen baru” canda Roni

Tangan kanan Roni di tarik ke ruang tamu. Sepertinya ada rasa yang tak suka melihat kebersamaan kami. Anak si kakak yang sedang kuliah di Bandung, Dinda namanya. Ia sangat mengagumi sosok Roni. Seolah ia tak mau berbagi hati dengan yang lain akan sosok Roni. Tak tau apa yang mereka katakana. Aku hanya bisa tersenyum lewat di depan mereka menuju kamar.

“Ki, ada suara berbisik di balik jendela kamarku”

Aku diam, suara apa itu? Tanyaku dalam hati

“Ki ini aku Roni” suara itu lembut sekali.

Ku dekatkan telingaku kearah Jendela

“ia ada apa bang?”

“tersinggung ya?”

“mangnya ada apa?”

“sikap Dinda”

“o nggak biasa aja, aku sudah tau Dinda kok”

“syukurlah kalau begitu”

“uda mau tidur ya?”

“belum masih baring-baring”

“aku tak suka bicara denganmu Ki”

Aku kaget, kok pedes sekali ucapannya. Aku diam tanpa menyahut ucapan Roni

“Ki….Ki….”

“sudah tidur Ki?”

Tak ingin lagi ku menjawab. Bibirku terkunci. Remuk hati ini.

“Ki aku tak mau bicara denganmu tanpa lihat senyummu”

“senyummu yang mengawali perkenalan kita, senyum itu yang selalu ku ingat”

Senyum ku merekah tanpa Ia tau, ku kira ia benci setelah bertemu Dinda. Aku snyum-senyum sendiri sambil memeluk guling di sampingku.

“Kok sepi, apakah sudah ada mimpi tercipta di sana, sehingga tak lagi menyahut sapaku?”

“di sini sudah ada karangan baru, yang sebelumnya sedikit remuk” jawabku

“remuk kenapa?”

“retak dari bisikan suara yang katanya tak lagi mau menyapa”

“hehehehehe aku suka senyummu Ki”

“gombal”

“bukan, jangan anggap aku merayu, tapi itu jujur, rasanya tak perlu namamu tapi hanya butuh senyummu, empat hari senyummu mengganggu ku”, boleh kah aku selalu melihat senyummu?”

“tak boleh, karna senyumku sudah ada yang menyapa”

“siapa kah ia Ki”

“kalau kamu tak suka aku memiliki senyummu, katakan Ki!”

“aku tak ingin senyum itu berubah”

Aku hanya diam, aku ingin menyapa bulan di luar sana. Menyampaikan padanya bahwa aku juga suka pria tampan ini. Oh bulan sampaikan padanya, aku suka, aku suka, aku suka.

*****

Bulan pergi tanpa pamit namun mentari menyapa dengan merekah. Aroma kopi pagi merangsang saraf-saraf untuk beraktifitas menikmati indahnya suasana puncak. Semua sudah tersedia aku hanya tinggal makan.

“Senyummu” bisikan itu menyapaku.

Ku berbalik ,ternyata Roni sambil membawa secangkir kopi. Ia duduk di pojok sana. Ku lirik berharap ada ajakan menemaninya. Dinda ya Dinda telah terlebih dahulu duduk di sampingnya. Ku buang pandanganku, mencari sapaan angin lain di belakangku. Indah sekali suasananya, pohon hijau menjulang tinggi, begitu rindang melindungi semak belukar di bawahnya. Tanpa cemburu menatap hamparan rumput-rumput menjadi permadani pengunjung di sana. Tanpa sakit hati dengan serakan daun-daun tua dari pohon-pohon tinggi. Semua damai menyejukkan mata setiap tatapan. Aku aingin seperti mereka. Hadirku mendamaikan tapi kenapa aku merasa cemburu pada ia. Pandangannya menyakitkan. Lirikan matanya membenciku. Cemburuku bukan karna ia dekat namun cemburuku karna Ia tak memberi ruang untukku mengenal sosok tampan itu.

Khayalan membawaku berjalan jauh dari hunian. Ku lihat tak ada orang disekeliling yang ku kenal. Mereka bahagia bersenda gurau menikmati alam. Tiba-tiba sepi ku rasa.

“Liburan apa ni?” (kesal ku pada diri)

“tanpa teman, tanpa siapa-siapa, berjalan sendiri, nikmati sendiri, sebel”

“aku mau pulang aja dech” enak di rumah bisa pergi bareng teman-temanku, ngapain juga liburan jauh-jauh, toh hasilnya seperti ini” ku lemparkan kekesalanku pada sebatang pohon di sampingku.

“ nggak enak ya liburannnya” Tanya Roni serasa membaca suasana hati.

“mmmmmmmmm” Hanya senyum kesal ku lempar.

“si Mam katanya mau keliling di Bandung, sepertinya tak lagi enak tuch liburannnya” Roni menyindir

“kenapa tak enak, enak lah kalau ditemani orang-orang asyik seperti abang ni”

Ku coba berbenah hati.

“abang tak ikut, si Mam sama Dinda aja”

“Ki ikut?”

“kalau di ajak Ki ikut, kalau nggak ya di rumah aja”

“katanya si Mam ada perlu juga ke Kampusnya Dinda”.

Ku lihat semua ruang tak ada satu pun orang. Si Kakak, Dinda, dan yang membantu tak terlihat.

“pada kemana ya?” Tanya ku dalam hati sambil penasaran.

Ku lari ke ruang depan. Ada Roni sedang duduk di sana.

“Bang pada kemana kok nggak ada?”

“kan sudah di bilang kalau mereka pergi keliling Bandung sambil ke Kampusnya Dinda”

“oooooo”

Kenapa aku tak di ajak, kenapa tak ada yang pamitan, kenapa tak ada kata-kata dari mereka kalau mereka mau pergi. Sakit rasanya. Apa aku salah? Apa mereka benci aku di sini? Kenapa ?semua Tanya itu berkecamuk di kepalaku.

Ku lari ke kamar, aliran air mata ini dengan tulus bergulir di pipiku. Tak pernah aku diperlakukan seperti ini. Bukankah mereka yang mengajakku. Lalu mengapa aku ditinggalkan. Tak ingin ku beranjak dari ruang sempit penuh aroma wewangian namun terasa menyesak. Ia yang duduk di sana mengapa juga bisu tanpa satu kalimat tawaran pada kebencianku.

Malam ini mereka tak kembali ke hunian. Dari siang aku hanya berkurung diri di kamar. Tak terasa lapar semua dikalahkan dengan kekesalan. Ku coba melangkah keluar. Ku lihat ada menu special di meja. Makanan itu kesukaan ku. Tapi, aku takut mendekat jangan-jangan aku salah. Itu bukan milikkku, mereka pun tak menawari ku. Ku ambil jaket hendak mencari makanan ke luar sana.

“sudah bangun Ki?”

“bangun???? Aku nggak tidur”.

“dari tadi di kamar ? Nggak tidur?”

“nggak”

“di kirain tadi capek, makanya nggak mau mengganggu, lalu mau kemana?”

“mau cari makan”

“kemana?”

“kemana aja”

“Nggak suka dengan makanan yang di meja?”

“makanan siapa?”

“itu mbak atik yang bikin, katanya Ki suka martabak Ikan?”

“tau dari siapa”

“tau dari senyumnya”

“gombal lagi”

“sudah yuk makan”

“abang dari tadi juga nggak makan, nungguin penghuni kamar keluar”

“oh..ya?, segitunya”.

Makanannya lezat sekali. Makanan yang dimasak oleh mbak Atik khusus untuk ku. Aku tak menyangka bang Roni segitu baiknya. Hingga ia rela telat makan menunggui ku yang sedang kesal.

“kita jalan yuk malam ni!”

“jalan kemana bang”

“keliling aja, suntuk di rumah”

“mbak Atik nggak di ajak”

“mbak Atik ikut jalan? (teriakan bang Roni)

“Nggak, makasi aja” (jawab mbak Atik dengan lembut)

Malam ini aku di ajak Roni ke sebuah Caffé. Suasananya menyenangkan mata. Tak terlihat orang-orang yang gila nafsu. Semua pojok bisa di amati. Tak ada muda-mudi yang berpegangan tangan, berlaku tidak senonoh, walau pun ada yang berduaan tapi mereka berlaku sopan. Ada yang tak berhijab namun berpakaian tertutup. Rame sekali di sini. Menunya unik-unik. Ada Coffee damai, Coffee sahabat, Coffee anggun, teh putih hijab, teh hijau Genius, dan Teh hitam mensucikan. Untuk makanan ada nasi goreng syar’I, ayam goreng Basmallla, dan pecel ayam Hamdallah. Semua mempunyai menu-menu unik dan islami. Tak ku lihat nama-nama yang tak baik di sana. Seperti nasi goreng neraka. Setiap sudutnya di hiasi dengan kata-kata inspiratif. Akhlak utama, tujuan akhir ke syurga” motto yang luar biasa terpampang besar di depan pintu masuk. Zaman know yang biasanya menggunakan kata-kata serampangan menarik pelanggan tanpa memikirkan dampak negative untuk generasi masa depan. Di sini semua indah. Ada rasa malu terpapar di wajah orang-orang yang berkunjung jika ia bertingkah menyalahi adab dan norma kesopanan. Tak hanya orang-orang muslim di sini, banyak penganut agama lain, katanya damai dan tenang disini. Luar biasa, sebuah sajian yang sangat mendidik.

Malam pun larut kami menuju jalan pulang.

“Enak Ki, di sana?”

“luar biasa sekali Bang”

“kalau semua tongkrongan seperti itu, dengan sendirinya mampu membentuk karakter pengunjung”

“mau lama-lama di sana”

“oooo tak boleh, selain tak enak dengan pemilik, malam pun akan cemburu”

“kita punya batas-batas waktu”

Sesampai di rumah aku melihat si kakak dan Dinda sudah kembali. Namun mereka sudah pada tidur. Aku masih bertanya dengan sikap mereka yang pergi tanpa pamit.

******

Pagi ini semua sudah bangun. Hidangan pagi sudah tersedia. Ku lihat Dinda berjalan dengan pongahnya tanpa sapaan dan teguran. Niat ku mau tersenyum pun surut. Tanpa wajah senang melihatku.

“bang kapan kembali ke Jakarta?” Tanya Dinda dengan manja pada Roni

“dua hari lagi sayang”

“enak ya di rumah, berdua-duaan?”

“ngomong apa anak kecil nich” (sambil menepuk pundak Dinda)

“ada simbol sindiran yang ku lihat dari bibir Dinda, namun aku pura-pura tak tau. Sikakak menyapaku dengan ketus.

“Ki makanlah!” hanya kata-kata itu yang keluar.

Semua berkumpul di ruang makan. Aku beranjak hendak ke kamar namun kata-kata Dinda menghalangiku.

“loh kok pergi?”

Aku merasa sapaan itu untukku, karna hanya aku yang berdiri.

“mau ke kamar Din, mungkin ada yang mau dibicarakan, nggak enak kalau aku di sini”

“di sini aja Ki” Roni meyakinkan

Aku duduk tanpa mengudap apa pun. Asing terasa bercampur dengan mereka. Seperti ada duri di tempat duduk ku. Gelisah dan tak nyaman.

“kak Kinan”

“kakak suka ya sama abang ku?”

Seperti di tampar tangan lelaki yang perkasa muka ku mendengar ucapan Dinda. Tak mampu ku dari menjawab. Hati ku mau pulang jauh dari mereka.

“kok diam Kak?” (nada suara Dinda agak meninggi)

“Dinda ngomong apa sich, kok ngomongnya seperti itu? Yang sopandong!”

Tegur Roni

“Ia dinda Cuma nggak mau sayang abang terbagi, Dinda mau abang sayangnya sama Dinda”

“abang nggak pernah abaikan Dinda” tegas Roni.

“abang,,,,Dinda mau Kak Kinanti tu juga sayang sama Dinda jadi sayangnya double nggak dari abang aja”

sontak semua tertawa

“maksudnya??? Tanyaku

“Kinanti, semua ini kami rencanakan karena kami menyukaimu”.

“walau pun Roni belum lama kenal denganmu tapi ia sudah banyak tau tentangmu, makanya kakak mengajakmu liburan ke sini. Maafkan sikap kami yang kemaren tak pamitan denganmu. Roni bilang tak usah biar bikin Kinanti penasaran katanya, makanya kami tinggalkan. Roni nggak macam-macam kan???

Tak ada kata-kata yang bisa ku rangkai menjawab Tanya si Kakak. Ternyata semua sudah direncanakan. Harapanku juga ingin bersama dengan Roni. Aku bahagia. Sebuah drama indah dijalani keluarga Roni. Membuat ku tak mampu berpaling ke drama lain. Ku ingin membuat episode berikutnya bersama Roni.

*****

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lanjutkan

02 Jun
Balas

Wah keren bu,ttp berkarya,jangan lupa follow akun saya,mari berbagi

02 Jun
Balas



search

New Post